Inspirasi Tak Berbatas Dimensi



Asleep, a Great Man Never Dies
[Anonim] 

Dalam konteks dunia pendidikan, guru merupakan salah satu topik pembahasan yang tak pernah habis untuk dikupas. Puja-puji secemerlang aurora di langit terangkai dengan indah tatkala mengenang perjuangan guru dalam mencerdaskan bangsa. Tak berlebihan rasanya jika Mister Sartono pun turut menggoreskan tintanya untuk menggubah bait indah penuh sanjung pada guru. Guru digambarkan sebagai sosok terpuji yang namanya akan harum di sanubari karena baktinya terukir dalam prasasti ungkapan terima kasih atas jasanya. 

Tak hanya di bumi Indonesia aneka frasa menawan diberikan pada guru. Di negara matahari terbit pun guru mendapatkan ruang utama di hati warga negaranya. Ketika Jepang porak-poranda akibat kekalahan dalam Perang Dunia II, pemerintah menunjukkan keberpihakan yang sangat jelas kepada guru. Profesi guru dianggap sebagai juru selamat yang akan membawa Jepang kembali kepada masa kejayaannya. Negeri Sakura boleh luluh lantak akibat bom Hiroshima Nagasaki, namun dengan menekankan pembangunan pada sektor pendidikan, maka Jepang yakin segera menjadi numero uno di kawasan Asia Pasifik, demikian kira-kira yang ada di pikiran para penguasa saat itu. Ikhtiar itu manjur adanya. Kini Jepang boleh berbangga dengan segala kemajuan yang dicapainya dalam berbagai sektor kehidupan. 

Para guru boleh berbesar hati dengan berbagai fakta tersebut. Para guru boleh jumawa karena pada kenyataannya dari tangan dingin guru lah lahir enam presiden republik ini, puluhan ilmuwan berkaliber internasional, ratusan ulama besar, ribuan penguasaha papan atas, dan jutaan manusia hebat dari berbagai latar belakang profesi yang ikut mewarnai merah hitamnya negeri ini. Di balik rentetan histori megah, guru pun tak lepas dari tantangan besar untuk membawa generasi emas Indonesia menggoreskan sejarah gemilangnya sendiri. 

Tantangan yang dihadapi oleh para guru bukanlah sesuatu yang remeh sehingga dapat diabaikan begitu saja. Era kesejagatan membuat guru siaga satu. Mempersiapkan generasi Indonesia menjadi sosok berkarakter tangguh dan kompeten sehingga siap bersaing dengan masyarakat dunia merupakan amanah yang diemban guru. 

Tantangan menjadi semakin menarik tatkala realita di lapangan menggambarkan betapa carut-marutnya dunia pendidikan tanah air. Dengan alokasi APBN untuk sektor pendidikan yang lumayan besar, seharusnya murid di seluruh Indonesia bisa merasakan belajar di gedung sekolah dengan sarana prasarana yang layak. Pun seharusnya pula dana bantuan pendidikan sampai kepada pihak yang membutuhkan tanpa ada “tikus terdidik” yang menggerogoti. Sayang sekali, das sein dan das solen saling mengingkari keberadaannya satu sama lain. 

Kondisi dunia pendidikan negeri seribu pulau semakin memilukan ketika beberapa guru yang seharusnya menjadi tuntunan, baru dapat memainkan perannya sebagai tontonan semata. Media massa kita dengan jelas menayangkan fenomena ini. Kasus pelecehan seksual atau kekerasan fisik oleh guru rasanya membuat ibu pertiwi makin bersusah hati. Air mata ibu pertiwi pun makin deras berlinang ketika sertifikasi yang sedianya digunakan untuk pengembangan diri guru justru dibelanjakan untuk kebutuhan tersier yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan kualitas diri. 

Beban mengajar yang termaktub dalam kurikulum (yang seringkali berganti usai pelantikan meteri baru) dirasa memberatkan guru. Tak heran sebutan guru kurikulum bagi guru yang berinteraksi dengan muridnya hanya sebatas menghabiskan materi pelajaran pun mengemuka. Jangankan memiliki waktu luang untuk berinteraksi dengan murid di luar jam pelajaran, bisa menyelesaikan materi yang tercetak di buku diktat saja sudah luar biasa kerennya. 

Tantangan yang harus dipikul oleh guru memang tak ringan. Meski demikian harus diakui peran guru sangat sentral dalam memajukan pendidikan. Mengibarkan bendera putih pada tantangan tentu bukan sikap ksatria bagi para pahlawan tanpa tanda jasa. Amanah mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 seharusnya menjadi roh kudus yang membuat guru tetap dinamis bergerak untuk memajukan jagat edukasi. Ibaratnya walau dihajar seribu tantangan pun, selama guru sebagai the man behind the gun mampu menginspirasi tanpa frustrasi, maka majulah pendidikan di sebuah negara. 

Menginspirasi memiliki level yang lebih tinggi daripada memotivasi. Menginspirasi artinya memberikan pengaruh kuat pada murid. Menginspirasi tak butuh banyak cakap, namun cukup dengan pemberian teladan yang konsisten. Walking on the same shoes alias menjadikan langkah guru dan murid selaras adalah jalan masuk inspirasi. Ketika langkah seiring seirama maka mudah bagi seorang guru menginternalisasikan nilai-nilai agungnya pada murid. Nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kegigihan, kreativitas, ketekunan, kecintaan pada ilmu pengetahuan dan sang pencipta ilmu yang terinternalisasi di sanubari murid tak akan pudar walau perjalanan waktu selalu bergerak maju. Ada atau tiada sosok sang guru, inspirasi akan tetap menyala di benak murid karena menginspirasi tak pernah berkorelasi dengan kehadiran fisik. Pun menginspirasi tak pernah terbatas dimensi ruang dan waktu. 

Menjadi sosok yang inspiratif tentunya menjadi impian indah bagi semua guru. Menjadikan pengaruh yang dimiliki abadi di hati dan pikiran murid membutuhkan keikhlasan dan kesabaran dalam berikhtiar. Tak mudah bukan berarti tak mungkin. Selama ada kemauan kuat, segala tantangan tak akan menjadi penghalang. Alangkah bahagianya bila saat sang guru telah tiada sekalipun, namun ajaran luhurnya masih bersemayam megah di kalbu sang murid. 

Guru boleh menyerah pada maut, namun nilai-nilai yang ditanamkannya abadi. Raga manusia akan bergerak mengikuti hukum alam. Kelahiran dan kematian memang fase yang tak dapat dielakkan manusia, namun keluhuran nilai tak ikut terkubur di tanah. Selama kehidupan masih berlangsung, kejernihan nilai tetap bergaung. Bukankah orang hebat adalah mereka yang tak pernah mati?

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/evysofia/inspirasi-tak-berbatas-dimensi_56551fd10523bd7e048b4578

Komentar

Postingan Populer